Untuk Jaga-Jaga aja!!!
BAB 1
PANCASILA DASAR NEGARA
A. Pengertian Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara
Republik Indonesia.
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV
yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain
mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta)
Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima”
(Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. sebagai dasar negara
maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu
haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun berdasrkan kenyataan,
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut telah dipraktikan oleh
nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan sampai sekarang.
Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila tersebut sebagai satu
kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia oleh Paniti Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dijadikan Dasar Negara Indonesia.
Dalam pengertian ini, Pancasila disebut juga way of life, weltanschaung,
wereldbeschouwing, wereld en levens beschouwing, pandangan dunia,
pandangan hidup, pegangan hidup dan
petunjuk hidup. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah
semua semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan dalam segala
bidang. Hal ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindakn pembuatan
setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pencatatan dari
semua sila Pancasila. Hal ini karena Pancasila Weltanschauung merupakan
suatu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, keseluruhan
sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis.
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara
(philosohische gronslag) dari negara, ideologi negara, dan staatside.
Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan
atau penyelenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pembukaan UUD
1945, yang dengan jelas menyatakan “……..maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…..”
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai
beberapa fungsi pokok, yaitu:
- Pancasila dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan yang
pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau
sumber tertib hukum. Hal ini tentang tertuang dalam ketetapan MRP No. XX/MPRS/1966 dan ketetapan MPR No. V/MP/1973 serta ketetapan No. IX/MPR/1978. merupakan pengertian yuridis ketatanegaraan
- Pancasila sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya
(merupakan pengertian Pancasila yang bersifat
sosiologi)
- Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam
mencari kebenaran (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat etis dan
filosofis
D. Sila – Sila Pancasila
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan
dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia
percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing- masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
B. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab
menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan
–kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar
bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah
sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa –bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia
Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan.
Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan
pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
D. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Manusia Indonesia menghayati dan
menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua
pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan
itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah
yang diutamakan di atas
kepentingan pribadi atau golongan.
Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus
dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan
diberikan kepada wakil- wakil yang dipercayanya.
E. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang
sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil
terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta
menghormati hak-hak orang lain.
NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta
bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
*
Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau
kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda
bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang
berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945
terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4
kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun
2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa
Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan
Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah
rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI
tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD
1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan
dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden
Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu
kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14
November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga
peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945 Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang
Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai
politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli
1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu
isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang
mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983
tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR
berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat
rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di
tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan
yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes”
(sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD
1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung
ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu
adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan
diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem
presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999
Pancasila sebagai Dasar Negara
Pengertian Pancasila sebagai dasar
negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana
tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh
PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik
Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan
Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan
Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di
Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag)
Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan
kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble)
dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila
merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan
masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice
karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap
toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat
pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia
yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia,
maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside)
integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang
terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan
yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala
perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara
itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara
Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai
hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah
suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan
tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi
semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar
masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya
dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila
secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang
kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat
dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan
pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni
dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Setiap sila (dasar/ azas) memiliki
hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian
rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh
karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan
sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan
menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara
tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan
sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan
Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian
keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang
Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama
atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang
perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya
hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang
ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang
ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab,
ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Diterimanya pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai
pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi
penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada
hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar
dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan
permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa
nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
1. Makna Nilai dalam Pancasila
a. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa
Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya
Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa
indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai
ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk
memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta
tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.
b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap
dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas
dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana
mestinya.
c. Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam
kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan
menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa
indonesia..
d. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat
melalui lembaga-lembaga perwakilan.
e. Nilai Keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna
sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia
Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar
itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif,
isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional
dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh
nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut
menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar
diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental
penyelenggaraan negara Indonesia.
2. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum
Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya
nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di
Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah
dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum
di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang merupakan
satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan
berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila
berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm
(norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya
dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada.
Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah,
program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada
hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari
nilai-nilai dasar pancasila.
Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan
perundang-undangan. Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan sebagai
berikut.
a.Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
c. Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
c. Peraturan pemerintah
d. Peraturan presiden
e. Peraturan daerah.
Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan
kedudukannya sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945
Alinea IV.
3. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Etik
Upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan
menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik
(norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai
pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik).
Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman
atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan
norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku.
Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya
bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan
Bermasyarakat.
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam
berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat
a. Etika Sosial dan Budaya
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan
menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling
menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama
manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu juga menghidupkan kembali
budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan
dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu
dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan
diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat
danlapisan masyarakat.
b. Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,
efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang
bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi
rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk
menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang
ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika
pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila
dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap
tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan
negara.
c. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi,
baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang
ekonomi, dapat melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan
persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja
ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya
suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha
bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan
terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang
bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi,
persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku
menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan
keasadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup
bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan
seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin
tegaknya supremasi hukum sejalan dengan menuju kepada pemenuha rasa
keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu
pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis
dan objektif. Etika ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun
kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis,
membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara
bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya etika maka nilai-nilai
pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan
bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan
pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa
hal yang perlu dilakukan sebagai berikut.
a.Proses penanaman dan pembudayaan
etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya
sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan
seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif,
langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten.
b. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan
komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara
indoktrinasi.
c. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan
seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat.
d. Perlu dikembangkan etika-etika
profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi
ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini
yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi
masing-masing
e. Mengkaitkan pembudayaan etika
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari
sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan
berbangsa, bernegara,
Demokrasi Pancasila
I. Pengertian Demokrasi Pancasila
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai
contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu,
dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau
yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
(Sejarah dan Perkembangan Demokrasi, http://www.wikipedia.org)
Menurut Wikipedia Indonesia, demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Demokrasi yang dianut di Indonesia,
yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan
dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran
serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa
nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam
Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita
menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang
dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)
2. Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem
Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi,
maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang
Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas
demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian demokrasi Indonesia
mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus
seperti nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia,
tanah air dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan
masyarakat, usaha dan krida manusia dalam mengolah lingkungan hidup.
Pengertian lain dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila). Pengertian tersebut pada
dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden
Amerika
Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah
suatu bentuk kekuasaan dari – oleh untuk rakyat. Menurut konsep
demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan,
sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga
negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktik, demos
menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukan untuk rakyat keseluruhan,
tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau
kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses
pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi
wakil terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang
memilihnya. (Idris Israil, 2005:51)
Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan
kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran
religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan
budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam demokrasi Pancasila
kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan
dengan tanggung jawab sosial.
4. Dalam demokrasi Pancasila,
keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup
bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak
ada dominasi mayoritas atau minoritas.
II. Prinsip Pokok Demokrasi Pancasila
Prinsip merupakan kebenaran yang
pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam
menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan
pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus
diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin
negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:
1. Suatu negara itu adalah milik seluruh
rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu
keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
2. Siapapun yang menjadi pemegang
kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku pengurusa rakyat, yaitu harus
bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan
sekaligus selaku pelayana rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim
terhadap tuannyaa, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat),
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas),
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia,
4. Peradilan yang merdeka berarti badan
peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden,
BPK, DPR, DPA atau lainnya,
5. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi Untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
6. Pelaksanaan Pemilihan Umum;
7. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
9. Pelaksanaan kebebasan yang
bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri,
masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.
III. Ciri-ciri Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya,
Pendidikan
Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan, Idris Israil (2005:52-53)
menyebutkan ciri-ciri demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan terhadap
kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil
rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena
merugikan semua pihak.
8. Tidak menganut sistem monopartai.
9. Pemilu dilaksanakan secara luber.
10. Mengandung sistem mengambang.
11. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
IV. Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila
Landasan formil dari periode Republik
Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS.
Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945
berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum
(Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal
ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara
lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum
dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan
kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di
dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem
konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan
bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi
oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum
lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan
Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1
ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara
tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang
tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:
a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang tidak
dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b. Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan memberhentikan
presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris
sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh
majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis.
Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan
MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang
dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam
pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan
undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di
bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak
bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal
tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet
kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung
jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri
ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah
koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak
terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan
DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota
DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
V. Fungsi Demokrasi Pancasila
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya:
a. Ikut menyukseskan Pemilu;
b. Ikut menyukseskan Pembangunan;
c. Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
2. Menjamin tetap tegaknya negara RI,
3. Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,
4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
5. Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,
6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
a. Presiden adalah Mandataris MPR,
b. Presiden bertanggung jawab kepada MPR.
VI. Beberapa Perumusan Mengenai Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik,
Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa perumusan mengenai
Demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar, yakni:
1. Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
a. Bidang Politik dan Konstitusional
1) Demokrasi Pancasila seperti yang
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945,yang berarti menegakkan kembali
azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap
warga negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif,
maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan
kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusionil. Dalam rangka ini
harus diupayakan supaya lembaga-lembaga negara dan tata kerja orde baru
dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan
(depersonalization, institusionalization )
2) Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat adil dan makmur.
3) Clan revolusioner untuk menyelesaikan
revolusi , yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia ke arah kemajuan
sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
b. Bidang Ekonomi
Demokrasi ekonomi sesuai dengan
azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam
Undang-undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang
layak bagi semua warga negara, yang antara lain mencakup :
1) Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara dan
2) Koperasi
3) Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya
4) Peranan pemerintah yang bersifat pembina, penunjuk jalan serta pelindung.
2. Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, Desember 1966
Azas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
a. Pengakuan dan perlindungan hak azasi
yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi,
kultural dan pendidikan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua
persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa
ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam
melaksanakannya.
3. Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967
Demokrasi Pancasila, dalam arti
demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan
kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita,
setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur,
lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehingga menjadi suatu
political culturea yang penuh vitalitas.
Berhubung dengan keharusan kita di
tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy,
maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat
dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh
karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan
hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun
mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai
keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
a. Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
b. Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya.
c. Perlunya untuk membina suatu rapidly expanding econo.
Demokrasi Deliberatif
1. prinsip deliberasi, artinya
sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam
dengan semua pihak yang terkait.
2. prinsip reasonableness, artinya
dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk
memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
3. prinsip kebebasan dan kesetaraan
kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama
dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan
gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi Pancasila dalam Beberapa Bidang
Seringkali kita melihat pengerahan masa
di Pilkada berakhir ricuh. Kitapun banyak melihat demontrasi mahasiswa
(kaum terpelajar) tidak jauh beda dengan masa pendukung politik yang
dibutakan oleh kekuasaan, mereka menjadi anarkis, demontrasi mereka
mengganggu ketertiban umum, sesekali merusak fasilitas rakyat, dan
kadang mengganggu kepentingan rakyat sekalipun mereka bilang sedang
membela rakyat. Beberapa ormas tidak ketinggalan ikut melakukan
pengerahan masa dan melakukan tindakan anarkis. Apabila Pemerintah dan
Perwakilan Rakyat cepat tanggap, apakah anarkisme mereka bisa dicegah?
Demokrasi Pancasila itu bukan memaksakan kehendak dengan pengerahan masa
yang anarkis, t etapi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Artinya kehendak rakyat yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya
dengan menggunakan kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia yang dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa),
sehingga melahirkan hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak
itu. Dan hikmah itu boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan
yang lain, atau mungkin berupa jalan tengah.
Jika kehendak itu diejawantahkan dengan pengerahan masa anarkis yang
memaksakan kehendak dengan mengatas namakan Demokrasi seperti yang kita
lihat pada beberapa kasus Pilkada dan lain sebagainya, maka tindakan
seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan nilai Demokrasi Pancasila.
Bahkan kalau mau kaku dalam menafsirkan
sila ke-4 Pancasila ini, maka bentuk pengerahan masa bukan merupakan
bentuk Demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila. Tapi barangkali kita
tidak akan sekaku itu, Kaum Demokrat Pncasialis sepakat tentang bolehnya
pengerahan masa sepanjang tidak memaksakan kehendak, melenyapkan
nilai-nilai Pancasila lainnya, dan ditindaklanjuti dengan
permusyawaratan perwakilan dengan menggunakan kebijakan dan bukan otot.
Demontrasi yang anarkis, perwakilan
rakyat yang bermusyawarah dengan menggunakan otot dan bukan kebijakan
ilmu dan nilai sudah keluar dari Demokrasi ala Pancasila. Mereka
harusnya disadarkan dan kalau mungkin dicegah. Mereka harusnya ingat
bahwa berdemokrasi di Indonesia itu tidak boleh menggunakan bentuk amal
Demokrasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Sengketa itu selesaikan saja di Pengadilan. Keinginan itu sampaikan
saja melalu perwakilannya. Dan Pemerintah ataupun Perwakilan Rakyat,
seyogyanya memiliki kemampuan untuk tanggap terhadap aspirasi dan
gejolak rakyat. Alangkah hebatnya Pemerintah dan Perwakilan Rakyat jika
dapat sigap mengambil berbagai kebijakan yang membuat aspirasi rakyat
tidak berbuntut pengerahan masa. Kalaupun tidak bisa, minimal dapat
mencegah agar pengerahan masa itu tidak berubah menjadi anarkis.
Mari propagandakan untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila yang
tanpa pengerahan masa, tapi dengan kebijakan dalam permusyawaratan
perwakilan. Kita pasti bisa !
Di surat kabar muncul petisi berjudul
“Mari Pertahankan Indonesia Kita”. Dari judul dan seruannya memang
sangat Nasionalis, tetapi ternyata tidak Pancasilais. AKBB, ICRP, dan
Aliansi Bhineka Tunggal Ika telah menafsirkan Kebhinekaan yang diajarkan
Pancasila dengan Kebebasan Materialisme (Materialisme, meminjam istilah
KH. Ma’ruf Amin dalam artikelnya yang berjudul, “Mencegah Sekularisasi
Pancasila” di Republika (14 Juni 2006), silahkan baca artikel
selanjutnya: “Sekulerisasi Pancasila adalah Penghianatan”). Perhatikan
isi petisinya berikut ini:
Indonesia menjamin tiap warga bebas
beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini
juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi
ke-Indonesia-an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang
hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka
juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka
menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah
yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat
lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah
dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan
menhancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah,
para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut
kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.
Marilah kita jaga republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi itu.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.
Jelas isinya adalah mereka mengajak kita semua untuk membela Ahmadiyah
yang telah melakukan tindak penistaan terhadap agama Islam atas dasar
Kebhinekaan yang ditafsiri sebagai Kebebasan Materialis. Sekalipun
Pancasila bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, tapi dalam konsep
Pancasila tindakan penistaan terhadap agama adalah tindak kriminal.
Karenanya UUD 45 memastikan bahwa negara akan menjamin agar rakyatnya
dapat beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (bukan beribadat
yang menyimpang dari ajaran agama) dan UU No.1/PNPS/1965 menetapkan
tindak penistaan terhadap agama sebagai tindak kriminal.
Pancasilais sejati tidak akan membela pelaku kejahatan yang
menistakan agama sebagaimana mereka membela Ahmadiyah, tidak akan
membiarkan umat Islam yang meminta keadilan atas penistaan agamanya,
memahami kemarahan umat Islam, dan tidak akan mersikap diam terhadap
penistaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap agama Islam.
Pancasilais sejati memahami arti yang sesungguhnya dari Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat indonesia, bahwa umat Islam berhak mendapatkan
keadilan dan Ahmadiyah tidak berhak menistakan agama Islam.
Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang
wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2)
dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras
dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia.
Sedih rasanya melihat fakta bahwa ternyata di bumi Indonesia ini ada
sekelompok anak bangsa yang ngaku Pancasilais tetapi tidak melindungi
agama dari penistaan, padahal perlindungan tersebut adalah merupakan
Keadilan Sosial bagi rakyat Indonesia. Mereka menggunakan Nasionalisme
untuk membela tindak kriminal penistaan agama, padahal Nasionalis yang
Pancasilais tidak akan melakukan hal seperti itu.
Pembelaan Mereka terhadap tindak penistaan terhadap agama dengan
alasan Kebhinekaan Pancasila yang ditafsiri dengan kebebasan
Materialisme merupakan tindak penistaan terhadap Pancasila.
Penjagaan agama dari penistaan adalah Pancasilais, pembiarannya
adalah Materialis. Jelaslah maka sebenarnya kebhinekaan yang dimaksud
oleh mereka adalah kebhinekaan materialis dan bukan kebhinekaan
Pancasilais. Akhirnya kita harus waspada dengan segelintir orang yang
mengaku-ngaku nasionalis padahal tidak Pancasilais, dan mulai
mempropagandakan:
Mari Pertahankan PANCASILA kita dari Penistaan Kaum Materialis!!!
Kita harus waspada, karena mereka
menyeru agar kita menjaga persatuan, padahal mereka yang telah
menanamkan bibit perpecahan. Mereka seringkali membela hal-hal yang
bertentangan dengan pandangan mayoritas bangsa Indonesia yang
Berketuhanan dan Beragama, seperti menolak demi membela segelintir
perusak moral. Pembelaan materialis yang seperti itulah yang seringkali
menyebabkan kekisruhan dan memecah belah masyarakat.
Mereka meminta agar kita menjaga Republik sementara mereka menistakan
Pancasila dengan Materialisme yang mereka anut. Mereka menyuruh kita
untuk mempertahankan hak asasi tapi dilain sisi tidak mendukung apabila
umat Islam mempertahankan hak asasinya dalam kasus penistaan agama oleh
Ahmadiyah. Sungguh di dalam kebangsaan perilaku mereka mencerminkan
identitas yang sangat jauh dari Keindonesiaan. Mereka sangat jauh dari
Pancasila yang selama ini mereka fikir berfihak kepada faham
Materialismenya. Pancasila bukan Materialisme, bung! Dan itu harga mati,
sebagaimana keyakinan Sukarno dan Pendiri Negara ini
Indonesia bukanlah Negara Sekuler Tapi
Negara Pancasila Yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak menggunakan
konsep Sekuler semata karena percaya bahwa Pancasila adalah konsep
tepat bagi bangsa Indonesia yang dikenal sangat percaya dan taat Kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
. Gus Dur pernah menyatakan, sebaiknya Indonesia menegaskan
diri sebagai negara sekuler. Negara Pancasila yang sering dikatakan
bukan negara agama dan bukan negara sekuler itu tidak jelas, ambigu,
serta memberikan kesan ideologi ganda. Malahan, secara berkelakar bisa
disebut bahwa negara Pancasila yang dikonsepkan seperti itu adalah
“negara yang bukan-bukan”. Sebab, sering dikatakan bahwa negara
Pancasila itu bukan liberal-kapitalis dan bukan sosialis-komunis, bukan
individualisme dan bukan kolektivisme, bukan negara agama dan bukan
negara sekuler. Kalau semua bukan, tak ada arti lain kecuali negara
“yang bukan-bukan”.
Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah
perbedaan ideologi politik tidaklah begitu gencar dipermasalahkan.Bahkan
NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama RI, yang awalnya dicetuskan
pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut
atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasisekaligus, yaitu:1.
Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang
muslim taat, jadi agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah
Bengkulu, yang Konsul PB-nya seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;2.
Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air,
dan anti penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);3. Filsafat visi
politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai
senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika,
ideologi mazhab sejarah materialisme, dan teori ekonomi politik
evolusisme Darwin.
Negara Pancasila merupakan konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964)
yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling
bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat
hal.
Pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham
individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai
pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat
padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum
“Rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta
konsepsi negara hukum “the Rule of Law” yang menekankan pada common law
dan rasa keadilan.
Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan
masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai
cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law).
Keempat, Pancasila menganut
paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu
agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama
(karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan
membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan
mayoritas dan minoritas.
Sekulerisasi Pancasila Adalah Penghianatan
KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia, memberikan tanggapan
terhadap Maklumat Keindonesian Aliansi Kebangsaan dengan menulis artikel
berjudul, “Mencegah Sekularisasi Pancasila” di Republika (14 Juni
2006).
Dalam artikelnya, KH Ma’ruf Amin mengeritik Maklumat Keindonesiaan sebagai upaya sekularisasi Pancasila.
”Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi
kehidupan yag dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme, yang
dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan anti-agama, dan
karenanya bertentangan dengan Pancasila, justru diagungkan. Begitu juga
dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan setengah
anti-agama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global,” tulis
Ma’ruf Amin.
Ma’ruf menjelaskan, Pancasila memang
bukan sebuah agama, karena ia merupakan kumpulan nilai-nilai (values)
dan visi (vision) yang hendak dituju oleh bangsa ini sejak kemerdekaan
Republik Indonesia. Meski begitu, bukan berarti Pancasila anti-agama,
atau agama tidak mendapat ruang bagi Pancasila. Sejak disepakati,
Pancasila menjamin setiap orang untuk menjalankan syariat agamanya
sesuai kepercayaan masing-masing. Karena itu, visi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” dalam sila pertama menunjukkan bahwa nilai-nilai “Ketuhanan” tidak
bisa begitu saja disingkirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, kata Ma’ruf Amin, mereka yang menginginkan tidak ada satu
agamapun yang boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan
Pancasila sebagai upaya untuk selalu membenturkan Islam dengan
Pancasila.
Tokoh Nahdlatul Ulama ini menyebut cara
berpikir orang selalu membenturkan nilai-nilai agama dengan Pancasila
sebagai orang yang picik dan tidak jujur dalam melihat fakta yang
terjadi. “Demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi
vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas
menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus
menolak,” gugatnya.
Beberapa kalangan yang tidak setuju
dengan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi Undang-Undang selalu menjadikan
Hak Asasi Manusia sebagai argumen utama mereka. Mereka berpendapat bahwa
larangan menyebarluaskan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang melanggar kesusilaan, yang memuat penghinaan, yang
memuat SARA, sebagai alat pemerintah untuk mengekang kebebasan
berekspresi seseorang. Apa benar demikian?
Mari kita lihat legal reasoning-nya.
Kita tengok konstitusi kita, UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 berbunyi
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Ketentuan konstitusional ini sangat jelas mendukung kebebasan setiap
orang untuk berkomunikasi lewat media apa pun, termasuk lewat media
elektronik (internet). Kita sepakat. Saya juga sepakat dengan hal
ini.Namun ketentuan konstitusi kita tidak berhenti di situ. Mari kita
lihat Pasal 28 J Ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Lebih tegas, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 : Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Apa artinya? Ini menunjukkan bahwa konstitusi kita sudah secara
komprehensif mengatur hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.
Sederhanya begini. Anda bebas berekspresi. Saya juga bebas berekspresi.
Kebebasan Anda tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Saya. Begitu juga
sebaliknya, kebebasan Saya tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Anda. Nah
bagaimana cara ”membatasi” Negara memiliki kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan oleh konstitusi untuk mengatur itu ke
dalam produk peraturan perundang-undangan. Nah, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(LN 58, TLN, 4843) adalah salah satu wujud tanggung jawab Negara untuk
mengatur kegiatan di bidang Teknologi Informasi.
Mari kita baca satu persatu. ARTHI menulis : ”Dalam
KonsideranMengingat UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan
apapun tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena itu dalam pandangan
Aliansi UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan Hak
Asasi Manusia”. Mengapa penyusun UU ITE tidak memasukan konsideran HAM
ke dalam UU ini, adalah tidak lain karena penyusun UU ITE menyadari dari
awal bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia sudah diatur oleh UUD 1945, dan
secara khusus sudah diatur oleh Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Artinya, tak ada keharusan bagi penyusun UU ITE untuk
memasukkan konsideran HAM. Mari kita membaca seluruh peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh,
jangan melihat secara spasial dan parsial. Atas argumen ini, saya
berpendapat bahwa pernyataan ANRHTI bahwa ”UU ITE mengabaikan Hak Asasi
Manusia” adalah tidak berdasar.
UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai
sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini telah jauh melenceng
dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi
elektronik.Pasal 4 UU ITE, secara jelas memuat tujuan Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab;
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Cakupan materi UU ITE sudah sangat jelas
menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap pemanfaatan TIK di Indonesia.
Silahkan membaca sendiri UU ITE secara seksama dan dengan kepala dingin.
Lebih lanjut ANRHTI berpendapat bahwa setidaknya ada 7 ketentuan
dalam UU ITE yang berpotensi mengancam diantarnya adalah Pasal 27 ayat
(1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40
ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (2).Mari kita lihat satu
per satu.Pertama, Pasal 27 ayat (1) UU ITE, berbunyi. Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apakah Negara
salah, ketika dia mengatur illegal content?.
Seperti saya sampaikan di muka, bahwa dalam pasal 28 J ayat (1) UUD
1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa
dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23
dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Karenanya
tidaklah salah jika dalam UU ITE terdapat adanya ketentuan tentang
Konten (content regulation) yang bersifat melawan hukum, yang pada
hakekatnya adalah pembatasan terhadap kebebasan berekspresi,
berinformasi dan berkomunikasi dalam rangka melindungi HAM orang lain.
Best practice di negara-negara lain, illegal content juga dilakukan.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) tentang larangan memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik. Di negara kita yang memegang adat
ketimuran, menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan.
Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara mana pun di dunia
ini tetap dianggap bertentangan dengan universal values.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang memuat larang penyebaran
informasi elektronik yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Untuk diketahui, Pasal ini didasari oleh
adanya First Additional Protocol to the Convention on Cybercrime
concerning the criminalisation of acts of racist and xenophobic nature
committed through computer system (2006), yang pada esensinya
menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat
menyebarkan rasa kebencian (hatred) ataupun permusuhan berdasarkan SARA
melalui sistem komputer dan/atau internet. Jadi, para penyusun UU ITE
sama sekali tidak menciptakan suatu ketentuan yang tidak merujuk pada
best practice Negara lain atau ketentuan konvensi internasional.
Keempat, Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “Kecuali intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang”. Apa yang salah dengan ketentuan ini?Memang
benar bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap informasi
dan/atau dokumen elektronik adalah tindakan melawan hukum sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (1) UU ITE.
Intersepsi hanya bisa dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang. (Pasal 31 ayat (3) UU ITE.Tatacara Lawful Interception
akan diatur secara detil dalam Peraturan Pemerintah tentang Lawful
Interception.
Intinya bahwa penegak hukum harus
mengajukan permintaan penyadapan kepada operator telekomunikasi, atau
internet service provider yang diduga menjadi sarana komunikasi dalam
tindak Depkominfo. Tak ada yang perlu dicemaskan dengan ketentuan lawful
kejahatan. Jadi permintaan intersepsi tidak dilakukan kepada
interception ini.
Kelima, Pasal 40 ayat (2) UU ITE
menyebutkan bahwa Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala
jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Keenam, Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).Mengapa harus enam tahun dan 1 miliar? Kita lihat ketentuan
Cyber Law Singapura yang mengenakan Max 1 Tahun dan SGD 1 Miliar serta Cyber Law
Romania yang mengenakan ancaman 3 sampai dengan 12 tahun atau pelanggaran yang sama.
Memang ketentuan ini, nampaknya lebih
“kejam” dari KUHP. Tapi patut diingat bahwa KUHP adalah produk hukum
yang sudah sangat tua, yang mendasarkan ketentuan-ketentuan hukumnya
pada zamannya, jauh sebelum TIK ada. Lagipula, kita menggunakan
ketentuan maximum, bukan minimum. Artinya, kita memberikan kebebasan
kepada hakim untuk menetukan vonis, yang intinya maksimal enam tahun dan
denda 1 miliar. Jika dalam kasus-kasus “ringan”, si Hakim menjatuhkan
vonis 1 bulan penjara dan denda Rp.100 ribu adalah sah-sah saja.
Ketujuh, Pasal 45 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Saya tak perlu
berpanjang lebar menjawab soal ini, lihat jawaban saya pada poin
‘keenam’, sebab pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis atas
kedua “gugatan ANRHTI” adalah sama.
Atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat “dangkal” itu, ANRHTI menyatakan sikap:
Pertama, Menolak kontrol negara atas
kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi
dalam segala bentuknya di Indonesia;
Kedua, Mengecam ketentuan-ketentuan
dalam UU ITE yang mengancamkemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers,
dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE.
Ketiga, Mendesak agar pemerintah segera
melakukan amandemen terhadap UU ITE agar sesuai dengan
kewajiban-kewajiban Internasional Indonesia dalam konteks hak asasi
manusia dan juga tidak melanjutkan pembahasan RUU TIPITI yang sangat
mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers,dan kebebasan
berekspresi di Indonesia.
Keempat, Menyerukan agar seluruh
komponen masyarakat sipil di Indonesia untuk mengawasi dengan ketat
setiap pembuatan peraturan perundang-undangan di DPR agar tidak
bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
Sekali lagi, kaum Materialis yang
menamakan dirinya Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia
menggunakan baju Nasionalis dengan tuntutan yang tidak Pancasilais,
yakni menginginkan agar UU ITE ditinjau ulang karena tidak mengindahkan
kebebebasan ala Materialis demi hak asasi manusia ala Materialis.
Aliansi ini harus menghapus dulu sila Pertama Pancasila dan Kelima
yang berkenaan dengan hak bangsa Indonesia yang beragama dan beretika
untuk mewujudkan tuntutan kebebasan materialisnya. Selama ini,
kehancuran bangsa yang ditimbulkan karena tayangan tidak sehat di media
masa adalah merupakan hasil kerja kaum Materialis.
Demi hak asasi segelintir manusia pro
Materialis, mereka memaksakan kehendak untuk menampilkan kepada bangsa
Indonesia yang beragama dan beretika, tayangan tidak bermoral, tidak
mendidik, dan tidak membangun. Pada dasarnya, mereka lebih nampak
sebagai kekuatan penghancur dari pada kekuatan pembangun bangsa. Apa
yang hendak mereka bangun dengan kebebasan Materialis adalah kehidupan
materialis yang jauh dari Ketuhanan YME dan keadilan bagi bangsa
Indonesia yang taat pada Tuhannya.
Perbandingan Demokrasi pancasila dengan demokrasi barat
Secara umum dapat dikatakan bahwa Demokrasi adalah sistem politik yang
memungkinkan semua warga bangsa mempunyai kesempatan mewujudkan
aspirasinya. Dalam sejarah umat manusia tampak bahwa demokrasi
berkembang sesuai dengan kondisi bangsa yang bersangkutan, termasuk
nilai budayanya, pandangan hidupnya serta adat-istiadatnya. Dengan
begitu tiap-tiap bangsa mempunyai caranya sendiri mewujudkan demokrasi.
Antara lain tampak bahwa sekalipun bangsa-bangsa Eropa Barat mempunyai
banyak kesamaan budaya, pandangan hidup dan adat-istiadat, namun
demokrasi yang berkembang di Perancis dan Inggeris tidak sepenuhnya
sama. Juga antara bangsa Amerika dan Inggeris yang sama-sama digolongkan
bangsa Anglo Saxon terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaan
demokrasi.
Pancasila sebagai Landasan Demokrasi Indonesia
Karena Pancasila telah kita akui dan
terima sebagai Filsafah dan Pandangan Hidup Bangsa serta Dasar Negara
RI, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan demokrasi
Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang sekarang
menjadi acuan bagi kebanyakan orang, khususnya kaum pakar politik
Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan
pandangan hidup.
Sebagaimana sudah diuraikan dalam
makalah Perbedaan Pikiran Barat dan Pancasila, perbedaan prinsipiil atau
mendasar dalam pandangan hidup Barat dan Indonesia adalah pola pikir
masing-masing individu yang berbeda dalam setiap pandangan hidup yang
berbeda dan mempunyai persepsi yang berbeda . Dalam pandangan Barat
individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua
kehendaknya.
Bahwa individu membentuk kehidupan
bersama dengan individu lain adalah karena dorongan rasionya untuk
memperoleh keamanan dan kesejahteraan yang terjamin, bukan karena secara
alamiah individu ditakdirkan hidup bersama individu lain. Sebaliknya
dalam pandangan Indonesia individu adalah secara alamiah bagian dari
kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi Perbedaan dalam
Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan bangsa
Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan.
Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang
terbaik baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan /
Kekeluargaan.
Kalau pelaksanaan demokrasi Barat
dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan atau
religie yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia tidak dapat
lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama
Pancasila. Meskipun NKRI bukan negara berdasarkan agama atau negara
agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama
dalam kehidupan bernegara. Ada yang mengritik “sikap bukan ini bukan
itu” sebagai sikap yang a-moral dan ambivalent, tetapi dalam
perkembangan cara berpikir dalam melihat Alam Semesta, khususnya yang
dibuktikan oleh Quantum Physics , hal ini normal. Justru karena sikap
itu demokrasi Indonesia tidak pernah boleh lepas dari faktor moral.
Demokrasi Barat cenderung diekspresikan
dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan.
Dalam demokrasi Barat adalah normal kalau partai politik mengejar
kekuasaan agar dengan kekuasaan itu dapat mewujudkan kepentingannya
dengan seluas-luasnya (The Winner takes all). Ia hanya mengakomodasi
kepentingan pihak lain karena dan kalau itu sesuai dengan
kepentingannya. Jadi sikap Win-Win Solution yang sekarang juga sering
dilakukan di Barat bukan karena prinsip Kebersamaan, melainkan karena
faktor Manfaat semata-mata.
Di Indonesia berdasarkan Pancasila
demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Jadi dianggap
tidak benar bahwa pihak yang sedikit jumlahnya dapat di”bulldozer” oleh
pihak yang besar jumlahnya. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia pada
prinsipnya mengusahakan Win-Win Solution dan bukan karena faktor manfaat
semata-mata. Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai
mufakat sedangkan keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup
kemungkinan penyelesaian didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini
voting dilakukan karena faktor Manfaat, terbalik dari pandangan
demokrasi Barat.
Dalam demokrasi Indonesia tidak hanya
faktor Politik yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor kesejahteraan
bagi orang banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila. Jadi
demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi
ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat
dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan
kebahagiaan dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Hal itu
kemudian berakibat bahwa pembentukan partai-partai politik mengarah pada
perwujudan kehidupan sejahtera bangsa (lihat makalah sebelumnya :
Pancasila dan Partai Politik).
Karena demokrasi Indonesia adalah
demokrasi kesejahteraan, maka wahana pelaksanaan demokrasi Indonesia
tidak hanya partai politik. Banyak anggota masyarakat mengutamakan
perannya dalam masyarakat sebagai karyawan atau menjalankan fungsi
masyarakat tertentu untuk membangun kesejahteraan, bukan sebagai
politikus. Mereka tidak berminat turut serta dalam partai politik.
Karena kepentingan bangsa juga meliputi mereka, maka selayaknya mereka
ikut pula dalam proses demokrasi, termasuk demokrasi politik. Oleh sebab
itu di samping peran partai politik ada peran Golongan Fungsional atau
Golongan Karya (Golkar).
Demikian pula Indonesia adalah satu
negara yang luas wilayahnya dan terbagi dalam banyak Daerah yang
semuanya termasuk dalam Keluarga Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu di
samping peran partai politik dan golkar, harus diperhatikan juga
partisipasi Daerah dalam mengatur dan mengurus bangsa Indonesia sebagai
satu Keluarga. Karena itu ada Utusan Daerah yang mewakili daerahnya
masing-masing dalam menentukan jalannya Bahtera Indonesia.
Sebagaimana prinsip Perbedaan dalam
Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan menjamin setiap bagian untuk mengejar
yang terbaik, maka Daerah yang banyak jumlahnya dan aneka ragam
sifatnya perlu memperoleh kesempatan mengurus dirinya sesuai
pandangannya, tetapi tanpa mengabaikan kepentingan seluruh bangsa dan
NKRI. Otonomi Daerah harus menjadi bagian penting dari demokrasi
Indonesia dan mempunyai peran luas bagi pencapaian Tujuan Bangsa.
PERBEDAAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. Menganut demokrasi Liberal atau Kapitalis
2. Bentuk negara Federal
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Menganut demokrasi Pancasila
2. Bentuk negara Kesatuan
3. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
KELEBIHAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. HAM dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara
2. Memiliki Sosialisme Demokrasi atau Demokrasi Sosial
3. Demokrasi menggunakan cara yang realistis dan efektif
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Bebas berpendapat
2. Bebas beraspirasi
3. Bebas berdemonstrasi
KELEMAHAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. Karena terdapat negara-negara bagian di negara barat maka terkadang
terjadi masalah yang di karenakan undang-undang yang di buat oleh negara
bagian bertentangan dengan pemerintah pusatnya atau pemerintah federal.
2. Terlalu Imperialisme
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Terlalu banyak partai
2. Mudah terpengaruh dengan pendapat yang tidak baik
3. Tidak adanya respon cepat dari pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah yang terjadi pada rakyat
KESIMPULAN :
Demokrasi dalam Pancasila merupakan
jalan dan sarana penting untuk mencapai Tujuan Bangsa, yaitu Masyarakat
yang maju, adil dan sejahtera. Itu hanya terwujud kalau kehidupan bangsa
diliputi Dinamika dan Kreativitasi yang tinggi.
Untuk itu kehidupan warga mendapat
jaminan penuh oleh Negara untuk melakukan berbagai kebebasan, termasuk
kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menjalankan agama dan
kepercayaannya, kebebasan menyatakan pendapat secara lisan dan tertulis.
Kebebasan ini perlu agar berkembang dinamika dalam berpikir dan
bertindak dilandasi kreativitas tinggi.
Namun perlu disadari bahwa kebebasan
yang berlebihan, apalagi yang mutlak, justru mengundang perpecahan dan
konflik antara warga. Hal itu akan malahan menjauhkan masyarakat dan
bangsa dari kemajuan yang diinginkan. Hal itu kita rasakan sendiri
sekarang sejak Reformasi 1998 tidak menyadari hal itu.
Sebab itu prinsip Perbedaan dalam
Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan harus selalu dipegang teguh. Karena
hal demikian tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada warga orang per
orang, maka diperlukan berfungsinya Hukum secara efektif. Sebab itu amat
penting bahwa Hukum harus ditegakkan secepat mungkin dengan dilakukan
oleh aparat hukum yang dapat diandalkan kecakapan dan kejujurannya.
Namun di atas itu semua amat penting
bahwa Semangat para Penyelenggara Negara adalah tepat dan sesuai dengan
usaha mencapai Tujuan Bangsa. Hal itu pun ditegaskan dalam Penjelasan
UUD 1945. Semangat yang tepat itu harus terwujud dalam cara berpikir dan
bertindak yang tepat dalam Memimpin dan Mengelola Negara sesuai dengan
posisi dan kedudukannya.