twitter


Untuk Jaga-Jaga aja!!!

BAB 1
PANCASILA DASAR NEGARA
A. Pengertian Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara . Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. sebagai dasar negara maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun berdasrkan kenyataan, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut telah dipraktikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan sampai sekarang.
yang dijadikan dasar negara Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia oleh Paniti Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dijadikan Dasar Negara Indonesia.
B. Bangsa Indonesia

Dalam pengertian ini, Pancasila disebut juga way of life, weltanschaung,
wereldbeschouwing, wereld en levens beschouwing, pandangan dunia,
pandangan hidup, pegangan hidup dan petunjuk hidup. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan dalam segala bidang. Hal ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindakn pembuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pencatatan dari semua sila Pancasila. Hal ini karena Pancasila Weltanschauung merupakan suatu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, keseluruhan sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis.
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara (philosohische gronslag) dari negara, ideologi negara, dan staatside. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan atau penyelenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menyatakan “……..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…..”
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai
beberapa fungsi pokok, yaitu:
  • Pancasila dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan yang pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum. Hal ini tentang tertuang dalam ketetapan MRP No. XX/MPRS/1966 dan ketetapan MPR No. V/MP/1973 serta ketetapan No. IX/MPR/1978. merupakan pengertian yuridis ketatanegaraan
  • Pancasila sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya
(merupakan pengertian Pancasila yang bersifat )
  • Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari kebenaran (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat etis dan filosofis
D. Sila – Sila Pancasila
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing- masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
B. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan –kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa –bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
D. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Manusia Indonesia menghayati dan menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil- wakil yang dipercayanya.
E. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik             Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945 Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

Pancasila sebagai Dasar Negara

Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1.    Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.    Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa
nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

1.    Makna Nilai dalam Pancasila

a.    Nilai Ketuhanan

Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.

b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.

c. Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..

d. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

e. Nilai Keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia. 2. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum

Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.

Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila.
Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan. Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan sebagai
berikut.

a.Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
c. Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
c. Peraturan pemerintah
d. Peraturan presiden
e. Peraturan daerah.

Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945
Alinea IV. 3. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Etik

Upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat.
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam
berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat a. Etika Sosial dan Budaya
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat danlapisan masyarakat.

b. Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan
negara. c. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan keasadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan menuju kepada pemenuha rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya etika maka nilai-nilai pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut.

a.Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif,
langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten.

b. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara indoktrinasi.

c. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat.

d. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing

e. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara,

Demokrasi Pancasila


I. Pengertian Demokrasi Pancasila
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. (Sejarah dan Perkembangan Demokrasi, http://www.wikipedia.org)
Menurut Wikipedia Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)


2. Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian demokrasi Indonesia mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus seperti nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, tanah air dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan masyarakat, usaha dan krida manusia dalam mengolah lingkungan hidup. Pengertian lain dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila). Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan dari – oleh untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktik, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukan untuk rakyat keseluruhan, tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi wakil terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang memilihnya. (Idris Israil, 2005:51)

Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1.     Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
2.     Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3.     Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
4.     Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.

II. Prinsip Pokok Demokrasi Pancasila
Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:
1. Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
2. Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku pengurusa rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku pelayana rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap tuannyaa, yakni rakyat.


Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat),
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas),
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia,
3. Pengambilan keputusan atas ,
4. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya,
5. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi Untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
6. Pelaksanaan Pemilihan Umum;
7. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
8. antara hak dan kewajiban,
9. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.

III. Ciri-ciri Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya, Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan, Idris Israil (2005:52-53) menyebutkan ciri-ciri demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak.
8. Tidak menganut sistem monopartai.
9. Pemilu dilaksanakan secara luber.
10. Mengandung sistem mengambang.
11. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.



IV. Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila
Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:


a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b. Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.

V. Fungsi Demokrasi Pancasila
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya:
a. Ikut menyukseskan Pemilu;
b. Ikut menyukseskan Pembangunan;
c. Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
2. Menjamin tetap tegaknya negara RI,
3. Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,
4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
5. Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,
6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,


Contohnya:
a. Presiden adalah Mandataris MPR,
b. Presiden bertanggung jawab kepada MPR.

VI. Beberapa Perumusan Mengenai Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa perumusan mengenai Demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar, yakni:
1. Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
a. Bidang Politik dan Konstitusional
1) Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945,yang berarti menegakkan kembali azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusionil. Dalam rangka ini harus diupayakan supaya lembaga-lembaga negara dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan (depersonalization, institusionalization )
2) Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat adil dan makmur.
3) Clan revolusioner untuk menyelesaikan revolusi , yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia ke arah kemajuan sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
b. Bidang Ekonomi
Demokrasi ekonomi sesuai dengan azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam Undang-undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak bagi semua warga negara, yang antara lain mencakup :



1) Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara dan
2) Koperasi
3) Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya
4) Peranan pemerintah yang bersifat pembina, penunjuk jalan serta pelindung.
2. Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, Desember 1966
Azas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
a. Pengakuan dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.
3. Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967
Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehingga menjadi suatu political culturea yang penuh vitalitas.
Berhubung dengan keharusan kita di tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy, maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
a. Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
b. Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya.
c. Perlunya untuk membina suatu rapidly expanding econo.

Demokrasi Deliberatif

1.     prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.
2.     prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
3.     prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.

Demokrasi Pancasila dalam Beberapa Bidang

Seringkali kita melihat pengerahan masa di Pilkada berakhir ricuh. Kitapun banyak melihat demontrasi mahasiswa (kaum terpelajar) tidak jauh beda dengan masa pendukung politik yang dibutakan oleh kekuasaan, mereka menjadi anarkis, demontrasi mereka mengganggu ketertiban umum, sesekali merusak fasilitas rakyat, dan kadang mengganggu kepentingan rakyat sekalipun mereka bilang sedang membela rakyat. Beberapa ormas tidak ketinggalan ikut melakukan pengerahan masa dan melakukan tindakan anarkis. Apabila Pemerintah dan Perwakilan Rakyat cepat tanggap, apakah anarkisme mereka bisa dicegah?
Demokrasi Pancasila itu bukan memaksakan kehendak dengan pengerahan masa yang anarkis, t etapi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Artinya kehendak rakyat yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya dengan menggunakan kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa), sehingga melahirkan hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak itu. Dan hikmah itu boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan yang lain, atau mungkin berupa jalan tengah.
Jika kehendak itu diejawantahkan dengan pengerahan masa anarkis yang memaksakan kehendak dengan mengatas namakan Demokrasi seperti yang kita lihat pada beberapa kasus Pilkada dan lain sebagainya, maka tindakan seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan nilai Demokrasi Pancasila.
Bahkan kalau mau kaku dalam menafsirkan sila ke-4 Pancasila ini, maka bentuk pengerahan masa bukan merupakan bentuk Demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila. Tapi barangkali kita tidak akan sekaku itu, Kaum Demokrat Pncasialis sepakat tentang bolehnya pengerahan masa sepanjang tidak memaksakan kehendak, melenyapkan nilai-nilai Pancasila lainnya, dan ditindaklanjuti dengan permusyawaratan perwakilan dengan menggunakan kebijakan dan bukan otot.



Demontrasi yang anarkis, perwakilan rakyat yang bermusyawarah dengan menggunakan otot dan bukan kebijakan ilmu dan nilai sudah keluar dari Demokrasi ala Pancasila. Mereka harusnya disadarkan dan kalau mungkin dicegah. Mereka harusnya ingat bahwa berdemokrasi di Indonesia itu tidak boleh menggunakan bentuk amal Demokrasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Sengketa itu selesaikan saja di Pengadilan. Keinginan itu sampaikan saja melalu perwakilannya. Dan Pemerintah ataupun Perwakilan Rakyat, seyogyanya memiliki kemampuan untuk tanggap terhadap aspirasi dan gejolak rakyat. Alangkah hebatnya Pemerintah dan Perwakilan Rakyat jika dapat sigap mengambil berbagai kebijakan yang membuat aspirasi rakyat tidak berbuntut pengerahan masa. Kalaupun tidak bisa, minimal dapat mencegah agar pengerahan masa itu tidak berubah menjadi anarkis.
Mari propagandakan untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila yang tanpa pengerahan masa, tapi dengan kebijakan dalam permusyawaratan perwakilan. Kita pasti bisa !

Di surat kabar muncul petisi berjudul “Mari Pertahankan Indonesia Kita”. Dari judul dan seruannya memang sangat Nasionalis, tetapi ternyata tidak Pancasilais. AKBB, ICRP, dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika telah menafsirkan Kebhinekaan yang diajarkan Pancasila dengan Kebebasan Materialisme (Materialisme, meminjam istilah KH. Ma’ruf Amin dalam artikelnya yang berjudul, “Mencegah Sekularisasi Pancasila” di Republika (14 Juni 2006), silahkan baca artikel selanjutnya: “Sekulerisasi Pancasila adalah Penghianatan”). Perhatikan isi petisinya berikut ini:




Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia-an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain.

Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menhancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.
Marilah kita jaga republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi itu.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.

Jelas isinya adalah mereka mengajak kita semua untuk membela Ahmadiyah yang telah melakukan tindak penistaan terhadap agama Islam atas dasar Kebhinekaan yang ditafsiri sebagai Kebebasan Materialis. Sekalipun Pancasila bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, tapi dalam konsep Pancasila tindakan penistaan terhadap agama adalah tindak kriminal. Karenanya UUD 45 memastikan bahwa negara akan menjamin agar rakyatnya dapat beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (bukan beribadat yang menyimpang dari ajaran agama) dan UU No.1/PNPS/1965 menetapkan tindak penistaan terhadap agama sebagai tindak kriminal.
Pancasilais sejati tidak akan membela pelaku kejahatan yang menistakan agama sebagaimana mereka membela Ahmadiyah, tidak akan membiarkan umat Islam yang meminta keadilan atas penistaan agamanya, memahami kemarahan umat Islam, dan tidak akan mersikap diam terhadap penistaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap agama Islam. Pancasilais sejati memahami arti yang sesungguhnya dari Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia, bahwa umat Islam berhak mendapatkan keadilan dan Ahmadiyah tidak berhak menistakan agama Islam.
Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Sedih rasanya melihat fakta bahwa ternyata di bumi Indonesia ini ada sekelompok anak bangsa yang ngaku Pancasilais tetapi tidak melindungi agama dari penistaan, padahal perlindungan tersebut adalah merupakan Keadilan Sosial bagi rakyat Indonesia. Mereka menggunakan Nasionalisme untuk membela tindak kriminal penistaan agama, padahal Nasionalis yang Pancasilais tidak akan melakukan hal seperti itu.
Pembelaan Mereka terhadap tindak penistaan terhadap agama dengan alasan Kebhinekaan Pancasila yang ditafsiri dengan kebebasan Materialisme merupakan tindak penistaan terhadap Pancasila.
Penjagaan agama dari penistaan adalah Pancasilais, pembiarannya adalah Materialis. Jelaslah maka sebenarnya kebhinekaan yang dimaksud oleh mereka adalah kebhinekaan materialis dan bukan kebhinekaan Pancasilais. Akhirnya kita harus waspada dengan segelintir orang yang mengaku-ngaku nasionalis padahal tidak Pancasilais, dan mulai mempropagandakan:
Mari Pertahankan PANCASILA kita dari Penistaan Kaum Materialis!!!
Kita harus waspada, karena mereka menyeru agar kita menjaga persatuan, padahal mereka yang telah menanamkan bibit perpecahan. Mereka seringkali membela hal-hal yang bertentangan dengan pandangan mayoritas bangsa Indonesia yang Berketuhanan dan Beragama, seperti menolak  demi membela segelintir perusak moral. Pembelaan materialis yang seperti itulah yang seringkali menyebabkan kekisruhan dan memecah belah masyarakat.
Mereka meminta agar kita menjaga Republik sementara mereka menistakan Pancasila dengan Materialisme yang mereka anut. Mereka menyuruh kita untuk mempertahankan hak asasi tapi dilain sisi tidak mendukung apabila umat Islam mempertahankan hak asasinya dalam kasus penistaan agama oleh Ahmadiyah. Sungguh di dalam kebangsaan perilaku mereka mencerminkan identitas yang sangat jauh dari Keindonesiaan. Mereka sangat jauh dari Pancasila yang selama ini mereka fikir berfihak kepada faham Materialismenya. Pancasila bukan Materialisme, bung! Dan itu harga mati, sebagaimana keyakinan Sukarno dan Pendiri Negara ini
Indonesia bukanlah Negara Sekuler Tapi Negara Pancasila Yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak menggunakan konsep Sekuler semata karena percaya bahwa Pancasila adalah konsep tepat bagi bangsa Indonesia yang dikenal sangat percaya dan taat Kepada Tuhan Yang Maha Esa.


.    Gus Dur pernah menyatakan, sebaiknya Indonesia menegaskan diri sebagai negara sekuler. Negara Pancasila yang sering dikatakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler itu tidak jelas, ambigu, serta memberikan kesan ideologi ganda. Malahan, secara berkelakar bisa disebut bahwa negara Pancasila yang dikonsepkan seperti itu adalah “negara yang bukan-bukan”. Sebab, sering dikatakan bahwa negara Pancasila itu bukan liberal-kapitalis dan bukan sosialis-komunis, bukan individualisme dan bukan kolektivisme, bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Kalau semua bukan, tak ada arti lain kecuali negara “yang bukan-bukan”.
Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah perbedaan ideologi politik tidaklah begitu gencar dipermasalahkan.Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama RI, yang awalnya dicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasisekaligus, yaitu:1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah materialisme, dan teori ekonomi politik evolusisme Darwin.
Negara Pancasila merupakan konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964) yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat hal.
Pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum “Rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum “the Rule of Law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan.
Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law).

Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas dan minoritas.
Sekulerisasi Pancasila Adalah Penghianatan
KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia, memberikan tanggapan terhadap Maklumat Keindonesian Aliansi Kebangsaan dengan menulis artikel berjudul, “Mencegah Sekularisasi Pancasila” di Republika (14 Juni 2006).
Dalam artikelnya, KH Ma’ruf Amin mengeritik Maklumat Keindonesiaan sebagai upaya sekularisasi Pancasila.
”Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidupan yag dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme, yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan anti-agama, dan karenanya bertentangan dengan Pancasila, justru diagungkan. Begitu juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan setengah anti-agama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global,” tulis Ma’ruf Amin.







Ma’ruf menjelaskan, Pancasila memang bukan sebuah agama, karena ia merupakan kumpulan nilai-nilai (values) dan visi (vision) yang hendak dituju oleh bangsa ini sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Meski begitu, bukan berarti Pancasila anti-agama, atau agama tidak mendapat ruang bagi Pancasila. Sejak disepakati, Pancasila menjamin setiap orang untuk menjalankan syariat agamanya sesuai kepercayaan masing-masing. Karena itu, visi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama menunjukkan bahwa nilai-nilai “Ketuhanan” tidak bisa begitu saja disingkirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, kata Ma’ruf Amin, mereka yang menginginkan tidak ada satu agamapun yang boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila sebagai upaya untuk selalu membenturkan Islam dengan Pancasila.
Tokoh Nahdlatul Ulama ini menyebut cara berpikir orang selalu membenturkan nilai-nilai agama dengan Pancasila sebagai orang yang picik dan tidak jujur dalam melihat fakta yang terjadi. “Demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak,” gugatnya.
Beberapa kalangan yang tidak setuju dengan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi Undang-Undang selalu menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai argumen utama mereka. Mereka berpendapat bahwa larangan menyebarluaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, yang memuat penghinaan, yang memuat SARA, sebagai alat pemerintah untuk mengekang kebebasan berekspresi seseorang. Apa benar demikian?
Mari kita lihat legal reasoning-nya. Kita tengok konstitusi kita, UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketentuan konstitusional ini sangat jelas mendukung kebebasan setiap orang untuk berkomunikasi lewat media apa pun, termasuk lewat media elektronik (internet). Kita sepakat. Saya juga sepakat dengan hal ini.Namun ketentuan konstitusi kita tidak berhenti di situ. Mari kita lihat Pasal 28 J Ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih tegas, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Apa artinya? Ini menunjukkan bahwa konstitusi kita sudah secara komprehensif mengatur hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia. Sederhanya begini. Anda bebas berekspresi. Saya juga bebas berekspresi. Kebebasan Anda tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Saya. Begitu juga sebaliknya, kebebasan Saya tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Anda. Nah bagaimana cara ”membatasi”             Negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan oleh konstitusi untuk mengatur itu ke dalam produk peraturan perundang-undangan. Nah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (LN 58, TLN, 4843) adalah salah satu wujud tanggung jawab Negara untuk mengatur kegiatan di bidang Teknologi Informasi.
Mari kita baca satu persatu. ARTHI menulis : ”Dalam KonsideranMengingat UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan apapun tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena itu dalam pandangan Aliansi UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan Hak Asasi Manusia”. Mengapa penyusun UU ITE tidak memasukan konsideran HAM ke dalam UU ini, adalah tidak lain karena penyusun UU ITE menyadari dari awal bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia sudah diatur oleh UUD 1945, dan secara khusus sudah diatur oleh Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, tak ada keharusan bagi penyusun UU ITE untuk memasukkan konsideran HAM. Mari kita membaca seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh, jangan melihat secara spasial dan parsial. Atas argumen ini, saya berpendapat bahwa pernyataan ANRHTI bahwa ”UU ITE mengabaikan Hak Asasi Manusia” adalah tidak berdasar.
UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik.Pasal 4 UU ITE, secara jelas memuat tujuan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Cakupan materi UU ITE sudah sangat jelas menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap pemanfaatan TIK di Indonesia. Silahkan membaca sendiri UU ITE secara seksama dan dengan kepala dingin.
Lebih lanjut ANRHTI berpendapat bahwa setidaknya ada 7 ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam diantarnya adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (2).Mari kita lihat satu per satu.Pertama, Pasal 27 ayat (1) UU ITE, berbunyi. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apakah Negara salah, ketika dia mengatur illegal content?.
Seperti saya sampaikan di muka, bahwa dalam pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Karenanya tidaklah salah jika dalam UU ITE terdapat adanya ketentuan tentang Konten (content regulation) yang bersifat melawan hukum, yang pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berinformasi dan berkomunikasi dalam rangka melindungi HAM orang lain. Best practice di negara-negara lain, illegal content juga dilakukan.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) tentang larangan memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di negara kita yang memegang adat ketimuran, menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan. Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara mana pun di dunia ini tetap dianggap bertentangan dengan universal values.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang memuat larang penyebaran informasi elektronik yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Untuk diketahui, Pasal ini didasari oleh adanya First Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of racist and xenophobic nature committed through computer system (2006), yang pada esensinya menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat menyebarkan rasa kebencian (hatred) ataupun permusuhan berdasarkan SARA melalui sistem komputer dan/atau internet. Jadi, para penyusun UU ITE sama sekali tidak menciptakan suatu ketentuan yang tidak merujuk pada best practice Negara lain atau ketentuan konvensi internasional.
Keempat, Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. Apa yang salah dengan ketentuan ini?Memang benar bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik adalah tindakan melawan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (1) UU ITE.
Intersepsi hanya bisa dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (Pasal 31 ayat (3) UU ITE.Tatacara Lawful Interception akan diatur secara detil dalam Peraturan Pemerintah tentang Lawful Interception.
Intinya bahwa penegak hukum harus mengajukan permintaan penyadapan kepada operator telekomunikasi, atau internet service provider yang diduga menjadi sarana komunikasi dalam tindak Depkominfo. Tak ada yang perlu dicemaskan dengan ketentuan lawful kejahatan. Jadi permintaan intersepsi tidak dilakukan kepada interception ini.
Kelima, Pasal 40 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Keenam, Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Mengapa harus enam tahun dan 1 miliar? Kita lihat ketentuan Cyber Law Singapura yang mengenakan Max 1 Tahun dan SGD 1 Miliar serta Cyber Law Romania yang mengenakan ancaman 3 sampai dengan 12 tahun atau pelanggaran yang sama.
Memang ketentuan ini, nampaknya lebih “kejam” dari KUHP. Tapi patut diingat bahwa KUHP adalah produk hukum yang sudah sangat tua, yang mendasarkan ketentuan-ketentuan hukumnya pada zamannya, jauh sebelum TIK ada. Lagipula, kita menggunakan ketentuan maximum, bukan minimum. Artinya, kita memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetukan vonis, yang intinya maksimal enam tahun dan denda 1 miliar. Jika dalam kasus-kasus “ringan”, si Hakim menjatuhkan vonis 1 bulan penjara dan denda Rp.100 ribu adalah sah-sah saja.
Ketujuh, Pasal 45 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Saya tak perlu berpanjang lebar menjawab soal ini, lihat jawaban saya pada poin ‘keenam’, sebab pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis atas kedua “gugatan ANRHTI” adalah sama.
Atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat “dangkal” itu, ANRHTI menyatakan sikap:
Pertama, Menolak kontrol negara atas kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam segala bentuknya di Indonesia;
Kedua, Mengecam ketentuan-ketentuan dalam UU ITE yang mengancamkemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE.
Ketiga, Mendesak agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU ITE agar sesuai dengan kewajiban-kewajiban Internasional Indonesia dalam konteks hak asasi manusia dan juga tidak melanjutkan pembahasan RUU TIPITI yang sangat mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers,dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Keempat, Menyerukan agar seluruh komponen masyarakat sipil di Indonesia untuk mengawasi dengan ketat setiap pembuatan peraturan perundang-undangan di DPR agar tidak bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
Sekali lagi, kaum Materialis yang menamakan dirinya Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia menggunakan baju Nasionalis dengan tuntutan yang tidak Pancasilais, yakni menginginkan agar UU ITE ditinjau ulang karena tidak mengindahkan kebebebasan ala Materialis demi hak asasi manusia ala Materialis.
Aliansi ini harus menghapus dulu sila Pertama Pancasila dan Kelima yang berkenaan dengan hak bangsa Indonesia yang beragama dan beretika untuk mewujudkan tuntutan kebebasan materialisnya. Selama ini, kehancuran bangsa yang ditimbulkan karena tayangan tidak sehat di media masa adalah merupakan hasil kerja kaum Materialis.
Demi hak asasi segelintir manusia pro Materialis, mereka memaksakan kehendak untuk menampilkan kepada bangsa Indonesia yang beragama dan beretika, tayangan tidak bermoral, tidak mendidik, dan tidak membangun. Pada dasarnya, mereka lebih nampak sebagai kekuatan penghancur dari pada kekuatan pembangun bangsa. Apa yang hendak mereka bangun dengan kebebasan Materialis adalah kehidupan materialis yang jauh dari Ketuhanan YME dan keadilan bagi bangsa Indonesia yang taat pada Tuhannya.
Perbandingan Demokrasi pancasila dengan demokrasi barat
Secara umum dapat dikatakan bahwa Demokrasi adalah sistem politik yang memungkinkan semua warga bangsa mempunyai kesempatan mewujudkan aspirasinya. Dalam sejarah umat manusia tampak bahwa demokrasi berkembang sesuai dengan kondisi bangsa yang bersangkutan, termasuk nilai budayanya, pandangan hidupnya serta adat-istiadatnya. Dengan begitu tiap-tiap bangsa mempunyai caranya sendiri mewujudkan demokrasi. Antara lain tampak bahwa sekalipun bangsa-bangsa Eropa Barat mempunyai banyak kesamaan budaya, pandangan hidup dan adat-istiadat, namun demokrasi yang berkembang di Perancis dan Inggeris tidak sepenuhnya sama. Juga antara bangsa Amerika dan Inggeris yang sama-sama digolongkan bangsa Anglo Saxon terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaan demokrasi.
Pancasila sebagai Landasan Demokrasi Indonesia
Karena Pancasila telah kita akui dan terima sebagai Filsafah dan Pandangan Hidup Bangsa serta Dasar Negara RI, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan demokrasi Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang sekarang menjadi acuan bagi kebanyakan orang, khususnya kaum pakar politik Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan pandangan hidup.
Sebagaimana sudah diuraikan dalam makalah Perbedaan Pikiran Barat dan Pancasila, perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam pandangan hidup Barat dan Indonesia adalah pola pikir masing-masing individu yang berbeda dalam setiap pandangan hidup yang berbeda dan mempunyai persepsi yang berbeda . Dalam pandangan Barat individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua kehendaknya.
Bahwa individu membentuk kehidupan bersama dengan individu lain adalah karena dorongan rasionya untuk memperoleh keamanan dan kesejahteraan yang terjamin, bukan karena secara alamiah individu ditakdirkan hidup bersama individu lain. Sebaliknya dalam pandangan Indonesia individu adalah secara alamiah bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan. Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang terbaik baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan / Kekeluargaan.
Kalau pelaksanaan demokrasi Barat dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan atau religie yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia tidak dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Meskipun NKRI bukan negara berdasarkan agama atau negara agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama dalam kehidupan bernegara. Ada yang mengritik “sikap bukan ini bukan itu” sebagai sikap yang a-moral dan ambivalent, tetapi dalam perkembangan cara berpikir dalam melihat Alam Semesta, khususnya yang dibuktikan oleh Quantum Physics , hal ini normal. Justru karena sikap itu demokrasi Indonesia tidak pernah boleh lepas dari faktor moral.
Demokrasi Barat cenderung diekspresikan dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan. Dalam demokrasi Barat adalah normal kalau partai politik mengejar kekuasaan agar dengan kekuasaan itu dapat mewujudkan kepentingannya dengan seluas-luasnya (The Winner takes all). Ia hanya mengakomodasi kepentingan pihak lain karena dan kalau itu sesuai dengan kepentingannya. Jadi sikap Win-Win Solution yang sekarang juga sering dilakukan di Barat bukan karena prinsip Kebersamaan, melainkan karena faktor Manfaat semata-mata.
Di Indonesia berdasarkan Pancasila demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Jadi dianggap tidak benar bahwa pihak yang sedikit jumlahnya dapat di”bulldozer” oleh pihak yang besar jumlahnya. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia pada prinsipnya mengusahakan Win-Win Solution dan bukan karena faktor manfaat semata-mata. Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini voting dilakukan karena faktor Manfaat, terbalik dari pandangan demokrasi Barat.
Dalam demokrasi Indonesia tidak hanya faktor Politik yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor kesejahteraan bagi orang banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila. Jadi demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan kebahagiaan dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Hal itu kemudian berakibat bahwa pembentukan partai-partai politik mengarah pada perwujudan kehidupan sejahtera bangsa (lihat makalah sebelumnya : Pancasila dan Partai Politik).
Karena demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan, maka wahana pelaksanaan demokrasi Indonesia tidak hanya partai politik. Banyak anggota masyarakat mengutamakan perannya dalam masyarakat sebagai karyawan atau menjalankan fungsi masyarakat tertentu untuk membangun kesejahteraan, bukan sebagai politikus. Mereka tidak berminat turut serta dalam partai politik. Karena kepentingan bangsa juga meliputi mereka, maka selayaknya mereka ikut pula dalam proses demokrasi, termasuk demokrasi politik. Oleh sebab itu di samping peran partai politik ada peran Golongan Fungsional atau Golongan Karya (Golkar).
Demikian pula Indonesia adalah satu negara yang luas wilayahnya dan terbagi dalam banyak Daerah yang semuanya termasuk dalam Keluarga Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu di samping peran partai politik dan golkar, harus diperhatikan juga partisipasi Daerah dalam mengatur dan mengurus bangsa Indonesia sebagai satu Keluarga. Karena itu ada Utusan Daerah yang mewakili daerahnya masing-masing dalam menentukan jalannya Bahtera Indonesia.
Sebagaimana prinsip Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan menjamin setiap bagian untuk mengejar yang terbaik, maka Daerah yang banyak jumlahnya dan aneka ragam sifatnya perlu memperoleh kesempatan mengurus dirinya sesuai pandangannya, tetapi tanpa mengabaikan kepentingan seluruh bangsa dan NKRI. Otonomi Daerah harus menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia dan mempunyai peran luas bagi pencapaian Tujuan Bangsa.
PERBEDAAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. Menganut demokrasi Liberal atau Kapitalis
2. Bentuk negara Federal
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Menganut demokrasi Pancasila
2. Bentuk negara Kesatuan
3. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
KELEBIHAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. HAM dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara
2. Memiliki Sosialisme Demokrasi atau Demokrasi Sosial
3. Demokrasi menggunakan cara yang realistis dan efektif
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Bebas berpendapat
2. Bebas beraspirasi
3. Bebas berdemonstrasi
KELEMAHAN :
- DEMOKRASI BARAT
1. Karena terdapat negara-negara bagian di negara barat maka terkadang terjadi masalah yang di karenakan undang-undang yang di buat oleh negara bagian bertentangan dengan pemerintah pusatnya atau pemerintah federal.
2. Terlalu Imperialisme
- DEMOKRASI INDONESIA
1. Terlalu banyak partai
2. Mudah terpengaruh dengan pendapat yang tidak baik
3. Tidak adanya respon cepat dari pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah yang terjadi pada rakyat
KESIMPULAN :
Demokrasi dalam Pancasila merupakan jalan dan sarana penting untuk mencapai Tujuan Bangsa, yaitu Masyarakat yang maju, adil dan sejahtera. Itu hanya terwujud kalau kehidupan bangsa diliputi Dinamika dan Kreativitasi yang tinggi.
Untuk itu kehidupan warga mendapat jaminan penuh oleh Negara untuk melakukan berbagai kebebasan, termasuk kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya, kebebasan menyatakan pendapat secara lisan dan tertulis. Kebebasan ini perlu agar berkembang dinamika dalam berpikir dan bertindak dilandasi kreativitas tinggi.
Namun perlu disadari bahwa kebebasan yang berlebihan, apalagi yang mutlak, justru mengundang perpecahan dan konflik antara warga. Hal itu akan malahan menjauhkan masyarakat dan bangsa dari kemajuan yang diinginkan. Hal itu kita rasakan sendiri sekarang sejak Reformasi 1998 tidak menyadari hal itu.
Sebab itu prinsip Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan harus selalu dipegang teguh. Karena hal demikian tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada warga orang per orang, maka diperlukan berfungsinya Hukum secara efektif. Sebab itu amat penting bahwa Hukum harus ditegakkan secepat mungkin dengan dilakukan oleh aparat hukum yang dapat diandalkan kecakapan dan kejujurannya.
Namun di atas itu semua amat penting bahwa Semangat para Penyelenggara Negara adalah tepat dan sesuai dengan usaha mencapai Tujuan Bangsa. Hal itu pun ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945. Semangat yang tepat itu harus terwujud dalam cara berpikir dan bertindak yang tepat dalam Memimpin dan Mengelola Negara sesuai dengan posisi dan kedudukannya.
Senin, 23 Januari 2012 | 0 komentar | Label:

0 komentar:

Posting Komentar